Prinsip-Prinsip Hukum Islam dalam Tanggung Jawab Pelaku Usaha

15 11 2007

Sumber: Media Konsumen (07 November 2007)

Oleh: Najmudin Ansorullah

Prinsip ialah asas atau fondasi kebenaran yang menjadi pokok dasar (pijakan) orang berpikir dan bertindak (E. Pino dkk., 1968: 321, Muhammad Ali, t.th: 324). Dalam hukum Islam, prinsip berarti kebenaran universal yang inheren di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum Islam dan setiap cabang-cabangnya (Juhaya S. Praja, 1995: 69).

1. Tauhid

Secara etimologis, tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah. Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah suatu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat la’ila’ha illa al-La’h (Tidak ada Tuhan selain Allah). Berdasarkan prinsip ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Mahaesaa-Nya dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya. (Juhaya S. Praja, 1995: 69).
Dengan tauhid, aktivitas ekonomi seperti jual beli merupakan bentuk ibadah, syukur serta bertujuan mencari Ridha-Nya. Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seseorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Islam bukan saja melarang praktik riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama pada orang lain (Quraish Shihab, 2000: 411). Kelanjutan prinsip tauhid ialah prinsip keadilan, amar makruf nahi munkar, kemerdekaan, persamaan, toleransi, gotong royong dan lain-lain (Juhaya S. Praja, 1995: 72).

2. Keadilan (al’adl)

Pada umumnya, keadilan adalah keadaan di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita bersama (F.M. Suseno, 1986: 44). Keadilan merupakan prinsip kedua setelah tauhid yang meliputi keadilan dalam berbagai hubungan: hubungan antara individu dengan dirinya sendiri; hubungan antara individu dengan manusia dan masyarakatnya; hubungan antara individu dengan hakim dan yang berpekara serta hubungan-hubungan dengan berbagai pihak yang terkait. Perintah berlaku adil ini dalam segala hal, keharusan berlaku adil terutama ditujukan kepada yang mempunyai kekuasaan; berlaku adil dalam menimbang atau menakar barang dalam jual-beli; dalam keluarga; bahkan kepada orang kafir sekali pun umat Islam harus berlaku adil (Juhaya S. Praja, 1995: 72).
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu (Juhaya S. Praja, 1995: 74). Jika keadilan dilanggar, maka akan terjadi ketidak-seimbangan dalam pergaulan hidup, sebab satu pihak akan dirugikan atau disengsarakan, sementara yang lain memperoleh keuntungan. Jika sistem sosial rusak karena keadilan dilanggar, maka pastilah seluruh masyarakat akan mengalami kerusakan yang dampaknya akan menimpa semua orang.
Baik hukum Islam maupun hukum positif, masing-masing menghendaki keseimbangan di antara kepentingan pihak-pihak terkait untuk ditegakannya keadilan. Hukum hanya bisa hidup karena suatu ide hukum. Ide hukum perpedoman pada ide-ide keadilan yang mendahului segala penetapan manusia sebagai norma legitimitas penetapan itu (F. Magnis Suseno, 1986: 12). Keadilan adalah sesuatu yang utuh, karena mencakup seluruh aspek kehidupan.
Di bidang ekonomi, keadilan merupakan “nafas” dalam menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, karena itu harta jangan hanya beredar pada segelintir orang kaya (Q.S. al-Hasyr [59]: 7). Kelanjutan prinsip keadilan adalah asas pemerataan dalam bidang mu’amalah (Juhaya S. Praja, 1995: 113).
Harta harus didistribusikan secara adil dan merata dalam kalangan masyarakat yang berbeda agar kekayaan tidak menumpuk pada segolongan kecil masyarakat (A. Rahman, Vol. I 1995: 82). Seorang Muslim harus dipenuhi rasa suka sama suka pada masing-masing pihak Transaksi jual-beli bukan karena paksaan, tetapi dengan memberikan kebebasan individu dalam melakukan segala bentuk mu’amalah atau pertukaran manfaat dalam rangka tolong menolong untuk kebajikan dan ketakwaan (al-birr wa at-taqwa) (Juhaya S. Praja, 1995: 114).
Dalam mencegah kerusakan prinsip tersebut, diperlukan: 1) langkah positip yang digunakan untuk mencegah monopoli kekayaan dan mewakili dalam penyebaran kekayaan dalam masyarakat seperti zakat; 2) berbagai larangan digunakan untuk menghindari bertumbuhnya kejahatan paraktek bisnis yang tidak sehat (A. Rahman, Vol. II 1995: 95). Dalam jual-beli dilarang ada tipu daya (adamul gharar), yaitu segala bentuk mu’amalah tidak boleh ada tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan (Juhaya S. Praja, 1995: 114).
Pelaku usaha tidak boleh melakukan berbagai cara yang dilarang syari’at, mengingat pelaku usaha kerap kali mencari kesempatan dari kekayaan atau profesinya untuk memperdaya konsumen. Bahkan, pelaku usaha tidak segan-segan melakukan pendekatan pengadilan melalui penyogokan terhadap hakim atau pejabat pengadilan untuk memenangkan kasusnya, sehingga konsumen semakin menderita. Salah satu firman Allah Swt., Q.S. al-Baqarah [2]: 188, mengingatkan: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagiaan yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagiaan dari-pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Ayat di atas, melarang untuk memperoleh harta orang lain secara tidak adil kepada orang lain dengan mengemukakan bukti-bukti tidak benar. Perbuatan tidak adil dan salah dapat merusak sistem ekonomi yang akhirnya akan menghancurkan keseluruhan sistem sosial, termasuk orang yang melakukan tindak kekerasan (Afzalur Rahman, Vol. I, 1995: 217). Seseorang dilarang melanggar dan merampas hak orang lain serta diberikan kebebasan dalam mengumpulkan harta dengan cara halal. Haram menggunakan pihak berkuasa (kekuasaan) agar ia memihak kepada seseorang untuk mengumpulkan harta (kekayaan), karena merupakan “pelanggaran ekonomi”. Dalam menegakkan keadilan, kesenjangan masyarakat harus dihapuskan melalui pemberian hak-hak konsumen secara adil dan merata. Transaksi jual beli tidak boleh disimpangkan di dalam hukum dengan menghindari keadilan.

3. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Prinsip amar ma’ruf nahi munkar merupakan turunan dari dua prinsip pertama, tauhid dan keadilan. Amar ma’ruf mempunyai arti hukum digerakan untuk dan merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridhoi Allah. Sedangkan nahiy munkar berarti larangan untuk mencegah kemunkaran. Atas dasar prinsip ini, dikenal dalam hukum Islam dengan perintah dan larangan; wajib dan haram; pilihan antara melakukan dan tidak melakukan sesuatu (perbuatan). Dalam filsafat hukum Barat, amar ma’ruf disebut social engineering (rekayasa sosial) hukum. Sedangkan nahi munkar disebut fungsi social control (kontrol sosialnya) (Juhaya S. Praja, 1995: 75).
Kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi. Sedangkan rekayasa sosial, ialah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh agent of change (pelopor perubahan) yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan (Achmad Ali, 2002: 87, 90).
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, UUPK merupakan salah satu kontrol sosial untuk mengatur hubungan pelaku usaha dan konsumen. Dilihat dari hukum Islam, aturan seperti tentang produksi makanan halal dan pemberlakuan hak khiyar merupakan salah satu amar ma’ruf nahi munkar. Namun, keduanya mempunyai aturan masing-masing mengenai perlindungan konsumen.
Salah satu pelaksanaan amar ma’ruf bagi pelaku usaha adalah dengan memberikan ganti rugi kepada konsumen bila ia merasa bersalah atas produk yang dijualnya. Sedangkan nahi munkar dengan memperhatikan dan melaksanakan aturan-aturan hukum Islam tentang jual beli. Bila tidak, jurang kecelakaan akan lebih dekat karena transaksinya tidak disertai hukum (jual beli). Ia tidak takut pada ketentuan-Nya, sehingga praktik manipulasi, penipuan dan lain-lain mudah dikerjakan.

4. Prinsip Kemerdekaan atau Kebebasan (al-Hurriyah)

Prinsip ini adalah kelanjutan dari prinsip-prinsip di atas (Juhaya S. Praja, 1995: 76). Kewajiban dalam menyeru kebajikan dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar) hanya dapat dilaksanakan jika ada kebebasan yang sempurna dalam berbicara dan berbuat (A. Rahman, Vol. I 1995: 91). Maksud kemerdekaan atau kebebasan di sini adalah dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik beragama, berserikat, dan kebebasan berpolitik. Kebebasan individu meliputi kebebasan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dalam hukum Islam tidak disiarkan berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi argumentasi, dan pernyataan yang meyakinkan (al-burha’n wa al-Iqna’) (Juhaya S. Praja, 1995: 76).
Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan tugas (amar’ma’ruf nahi munkar, Pen.) tersebut dan menetapkan setiap individu dengan masyarakat untuk bekerja sama dan tidak menghendaki adanya perselisihan (A. Rahman, Vol. I 1995: 8). Menurut Rahman, kebebasan individu bukannya mutlak dan tanpa batasan, melainkan dibatasi oleh dua hal: pertama, individu bebas bergerak di bidang ekonomi dengan syarat tidak melanggar dan memperkosa hak-hak orang lain atau membahayakan kepentingan umum (masyarakat); kedua, dia harus mengambil cara halal dan tidak mengamalkan cara haram untuk mencari penghidupan dan tidak mengambil benda-benda yang haram (A. Rahman, Vol. I 1995: 94). Demikian itu, tidak seorang pun berhak memenjarakan kebebasan manusia. Kebebasan ini mempunyai batasan yang jelas dalam syari’ah, yaitu kebebasan yang diikat dengan tanggung jawab sosial berlandaskan nilai utama tauhid.
Dalam perlindungan konsumen, prinsip kebebasan ini sangat penting karena terkait dengan kebebasan seseorang untuk melakukan hak pilihnya dalam suatu transaksi. Tanpa kebebasan itu, individu muslim, baik sebagai konsumen maupun pelaku usaha tidak dapat melaksanakan kewajiban mendasar dalam menikmati kesejahteraan dan menghindari kekacauan dalam masyarakat. Karena itu, hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen perlu diseimbangkan. Yusuf Shofie (2000: 12-13), menyatakan bahwa maksud kebebasan konsumen, adalah kebebasan yang merupakan karakteristik penting bagi organisasi konsumen maupun kelompok konsumen menyangkut hak mereka dalam meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen. Ziaudin Sardar (1986: 39 dan 49), menyatakan bahwa Islam memberikan kebebasan kepada usaha-usaha rasional dan intelektual dalam lingkup norma-norma dan nilai-nilainya. Islam harus menyelaraskan pentingnya kebebasan dengan pelestarian norma-norma dan nilai-nilai yang diterima umat Islam di mana pun.

5. Prinsip Persamaan atau Egaliter

Prinsip persamaan mengandung arti bahwa tidak ada perbedaan antara sesama manusia, tetapi bukan berarti hukum Islam menghendaki masyarakat tanpa kelas ala Komunisme, kemuliaan manusia bukanlah karena ras dan warna kulit. Kemuliaan manusia adalah karena dzat manusia itu sendiri (Juhaya S. Praja., 1995: 76-77). Islam memiliki kecenderungan pada persamaan, tetapi tidak menghendaki penyamarataan. Kelebihan seseorang terhadap orang lain dalam persaudaraan yang besar tidak tergantung pada kebangsaannya, tetapi dalam hal menjalankan kewajiban atau kemuliaan akhlaknya (A. Rahman, Vol I 1995: 49 dan 123).
Islam membolehkan pemilikan pribadi dan perbedaan dalam ekonomi dengan batas-batas yang wajar di dalam masyarakat, agar tersedia kesempatan bagi individu untuk mengembangkan dan memanfaatkan sifat-sifatnya yang mulia (A. Rahman, Vol I 1995: 126). Dalam tanggung jawab pelaku usaha, ia harus menghargai hak-hak konsumen dengan berlaku jujur dan adil. Tidak boleh ada perbedaan yang berlebihan di antara konsumen yang satu dengan lainnya.

6. Prinsip al-Ta’awun (Tolong-Menolong)

Prinsip ta’awun berarti bantu-membantu antara sesama anggota masyarakat. Bantu-membantu ini diarahkan sesuai dengan tauhid, terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaaan kepada Allah. Prinsip ini menghendaki kaum Muslim berada saling tolong dalam kebaikan dan ketakwaan (QS. al-Maidah [5]: 2).
Setiap transaksi ekonomi harus dilakukan secara halal serta diarahkan terhadap kebajikan dan tolong-menolong. Islam tidak hanya membenarkan kerjasama melalui pelbagai bentuknya yang dinamis dan halal, melainkan juga membekali etos kerjasama yang iman dan takwa yang melahirkan kerjasama yang jujur, adil dan bertanggung-jawab (H. Ya’qub, 2003: 105-106). Untuk itu, dalam hubungan transaksi antara konsumen dan produsen, prinsip ini harus dijiwai oleh kedua belah pihak.
Kelanjutan prinsip ta’waun, dikenal prinsip khusus asas taba’dulul mana’fi’, yang berarti segala bentuk kegiatan mu’amalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam kesejahteraan bersama.
Asas taba’dulul mana’fi’ ini juga merupakan kelanjutan dari prinsip hukum Islam yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di bumi, melainkan hanya sebagai pemilik hak memanfaatkannya. (Juhaya S. Praja, 1995: 113). Oleh karena itu, manusia selain mempunyai hak memanfaatkan segala yang ada di bumi, pada saat bersamaan harus menghargai hak orang-orang lain dan lingkungannya. Kemanfaatan harus diraih oleh berbagai pihak dengan cara saling menolong, tidak boleh ada eksploitasi, penipuan dan berbagi bentuk becurangan.
Menurut Dawam R., dari prinsip ta’awun akan timbul prinsip persaingan dan kerjasama. Dalam pengertian modern kerjasama tidak semata-mata dilakukan karena tradisi dan solidaritas, melainkan atas dasar rasionalitas, yaitu kesadaran akan adanya fungsi yang komplementer atau kebutuhan rekonsiliasi (ishlah) di antara tujuan atau cara yang berbeda-beda bersaingan atau bahkan pertentangan. Selama ini, ta’awun dikaitkan dengan lebih diartikan sebagai kerjasama di antara mereka yang sepaham, sehingga istilah ini kehilangan makna pentingnya. Ta’awun bila dikaitakan dengan doktrin musyawarah, yang intinya adalah pemecahan maslah, maka dapat dijadikan dasar seperti bagi pembentukan koperasi. Prinsip ta’awun, ishlah atau musyawarah, berkaitan dengan istilah ta’aruf atau saling mengenal dan memahami (Dawam Rahardjo, 1990: 126).
Dari pandangan itu, ta’aruf dapat menjadi dasar komunikasi. Kemampuan komunikasi akan sangat menentukan suksesnya perdagangan. Untuk kelancaran kegiatan ekonomi, seorang pelaku usaha harus mampu berkomunikasi dengan baik dengan menjaga nilai-nilai dan etika Islam agar kedua pihak saling meraih manfaat. Melalui ta’aruf, kaum muslimin tidak membeda-bedakan suku, ras maupun agama dalam hubungan perdagangan, sehingga agama Islam dapat disiarkan secara damai.

7. Prinsip Toleransi (Tasa’muh)

Prinsip ini sebagai kelanjutan dari prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas. Toleransi dimaksudkan Islam ialah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya. Toleransi dapat diterima dan terselenggara selagi tidak merugikan agama Islam (Juhaya S. Praja, 1995: 77).
Suatu produk akan mudah diterima mayarakat, apabila seseorang (pelaku usaha) mengetahui produk yang dibutuhkan masyarakat tersebut. Misalkan dalam wilayah tertentu, makanan mengandung babi, minuman beralkohol atau narkotika, selain ditolak secara moral juga karena bertentangan dengan ajaran hukum Islam.
Dengan prinsip-prinsip di atas, segala bentuk kegiatan ekonomi harus sesuai dengan hukum Islam. Dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut, suatu perjanjian atau perikatan tidak hanya berlaku hanya di dunia, tetapi memperhitungkan jangka panjang di akhirat dengan iman dan taqwa (menjaga diri dari tindakan yang merugikan atau merusak) serta sikap bertanggung-jawab. Hukum Islam sebenarnya menghendaki agar dunia ini diisi penuh oleh manusia-manusia bertanggung-jawab berdasarkan nilai-niai luhur Islam, karena itu prinsip tanggung jawab tidak dapat dipisahkan dari kegiatan ekonomi Islam. Hukum Islam mengatur tanggung jawab pelaku usaha secara tegas dan jelas, sebagaimana dijelaskan di bagian lain tulisan ini.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi, sebab kegiatan ekonomi memerlukan ketertiban dan kepercayaan masyarakat terhadap orang seorang atau sebaliknya. Dalam perlindungan konsumen, aplikasi prinsip-prinsip Islam dapat diarahkan untuk pemberian motivasi dan etos kerja dalam rangka mengembangkan sumber daya manusia yang produktif, berkualitas dan profesional. Islam menyediakan ajaran-ajaran yang relevan, seperti tanggung jawab baik kepada sesama, lingkungan maupun Tuhannya.
Dengan adanya salah satu instrumen hukum Islam yang memberikan hak-hak khiyar, semestinya para pelaku usaha memikirkan kembali tentang kerugian-kerugian pada masyarakat konsumen. Jika memang dunia ekonomi dan bisnis menghendaki pertumbuhan yang lancar, maka prinsip-prinsip dalam Islam sangat relevan untuk diaplikasikan dalam kurun waktu yang tidak terbatas, karena pada dasarnya Islam telah memberikan solusi terhadap pemecahan mendasar manusia. Wallahu’alam


Aksi

Information

Satu tanggapan

25 08 2008
ламинат

0vGood idea.1d I compleatly agree with last post. ckl
ламинат купить 9c

Tinggalkan komentar